Sabtu, 18 September 2010

Garis Tepi

Bagi siapapun yang tertarik untuk mendalami ilmu sosial, maka di ujungnya akan menemukan bahwa inti dari ilmu tentang masyarakat ternyata adalah “dinamika” masyarakat itu sendiri. Dunia sosial yang kita huni ini memang menyajikan beragam menu kehidupan yang menarik untuk diamati, dihayati, dan tentu saja “dicicipi” dengan cara meleburkan diri ke dalamnya. Buku ringkas di tangan pembaca ini, juga bicara tentang secuil saja dari dinamika masyarakat tersebut, yakni tentang dinamika tradisi masyarakat dalam konteks perubahan sosial.
Namun demikian, tidak lantas buku ini dikatakan “memadai” untuk mengungkap panjang lebar tentang dinamika perubahan sosial masyarakat. Buku ini terlalu sederhana untuk merangkum tugas besar itu. Sebab, bicara tentang perubahan sosial berarti kita harus juga memperbincangkan tentang sumber atau faktor-faktor penyebab perubahan sosial, saluran atau media perubahan itu, dan tentu saja mensintesiskan kira-kira kemana arah perubahan sosial masyarakat yang kita amati tersebut? Oleh karena itu, buku “Potret Tradisi di Persimpangan Jaman” ini, sejatinya hanyalah stimulus atau pintu pembuka menuju studi dan kajian perubahan sosial yang lebih komprehensif.
Dari beberapa potret tradisi yang dituangkan dalam buku ini, penulis memberikan cetak tebal secara khusus dalam cara pandang kita terhadap tradisi. Bahwa, esensi dalam tradisi itu dapat kita lihat dari dua sisi paling utama, yaitu terkait masalah “kepuasan” dan “kesesuaian”. Dengan kata lain, apakah suatu tradisi masyarakat dapat bertahan dan dipertahankan oleh anggota masyarakatnya, dapat dimulai dengan pertanyaan “apakah tradisi itu masih dianggap memuaskan?” atau “apakah tradisi itu memiliki daya adaptasi dan kelenturan yang tinggi terhadap kehidupan?”. Dengan demikian, lewat tulisan dalam buku kecil ini, penulis sampai pada hipotesis bahwa, semakin memuaskan dan sesuai suatu tradisi terhadap alam pikir kontemporer dan realitas kehidupan [sosial, ekonomi, politik, religi, dsb] anggotanya, maka makin langgeng tradisi tersebut. Pun sebaliknya, makin “tidak sesuai” dan “memuaskan”, maka makin pula tradisi itu ditinggalkan.
Menelaah tentang kesesuaian dan kepuasan terhadap suatu tradisi, memang menjadi persoalan tersendiri yang sulit dicari parameternya. Akan tetapi, bukan berarti tidak dapat diamati dan dirasakan. Keputusan suatu anggota masyarakat untuk meneruskan suatu tradisi atau meninggalkannya, dapat dipelajari dari perilaku-perilaku dan pemahaman subjektif yang muncul di sekitar tradisi tersebut. Kemudian, kita dapat membandingkannya dengan perilaku dan pemahaman yang muncul sebelumnya atau yang kemudian. Tingkat perbedaan itulah, yang kemudian menjadi indikasi tentang status masih “memuaskan” atau “sesuai” tidaknya suatu tradisi masyarakat. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Thomas & Znanienki [1964:492] bahwa watak atau jiwa seseorang, yang didalamnya terdapat komponen sikap dan perilaku suatu kelompok, merupakan pencerminan dari kebudayaan masyarakatnya.
Akhirnya, dengan menikmati berbagai potret tradisi dalam buku ini, kita akan sampai pada sebuah perjalanan tentang dinamika kehidupan sosial manusia yang unik dan progresif. Ada proses dis-organisasi dan re-organisasi serta de-konstruksi dan re-konstruksi yang berlangsung secara terus menerus di tengah masyarakat yang kita singgahi ini. Artinya, tidak ada masyarakat yang tidak berubah. Sebaliknya, dalam masyarakat yang telah berubah sangat modern sekalipun, selalu saja masih ada warisan masa lalu yang tersisa, melekat erat, dan mewarnai secara khas corak masyarakat itu sendiri. Wallahu’alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar