Sabtu, 18 September 2010

Garis Tepi

Bagi siapapun yang tertarik untuk mendalami ilmu sosial, maka di ujungnya akan menemukan bahwa inti dari ilmu tentang masyarakat ternyata adalah “dinamika” masyarakat itu sendiri. Dunia sosial yang kita huni ini memang menyajikan beragam menu kehidupan yang menarik untuk diamati, dihayati, dan tentu saja “dicicipi” dengan cara meleburkan diri ke dalamnya. Buku ringkas di tangan pembaca ini, juga bicara tentang secuil saja dari dinamika masyarakat tersebut, yakni tentang dinamika tradisi masyarakat dalam konteks perubahan sosial.

Jimat

"....Biasanya, kepemilikan jimat hanya diketahui oleh si pemilik dan biasanya tidak dikabar-kabarkan kepada orang lain. Jimat, dalam akronim bahasa jawanya “barang siji di mat-mat” [satu barang yang dieman-eman dan dijaga], menunjukkan bahwa keberadaannya sangat istimewa. Pamer jimat bukanlah sesuatu yang lumrah, bahkan terkadang tidak dianjurkan. Oleh sebab itu, kita akan kesulitan untuk bertanya pada seseorang apakah dia memiliki jimat tertentu atau tidak [kecuali dia ingin menjualnya]. Terkadang, pemakai jimat akan malu-malu untuk mengakui mereka memiliki jimat. Mereka tidak mau disebut sebagai orang yang menyekutukan Tuhan. Sebagai penengahnya, para pengguna jimat akan mengatakan bahwa,  jimat ini hanyalah media perantara belaka, tidak disembah, hanya diharapkan tuah-nya saja...... 
(Yanu E. Prasetyo, MTB, Hal 111)
 

Batik

"...kita sering melihat bahwa yang mampu atau biasa menjadi pembatik tradisional kebanyakan adalah perempuan. Sebab, batik pada masa dahulu adalah sebuah tradisi bercitarasa tinggi yang dikerjakan oleh mereka yang ingin melatih kesabaran, ketekunan, dan kepekaan rasa. Biasanya dilakukan oleh para putri raja dan para pembantunya [abdi dalem]. Para pembatik tulis yang masih ada saat ini pun adalah perempuan-perempuan sabar dan tekun yang masih tersisa. Gambaran ini bertolak belakang ketika mulai marak produksi batik cap, dimana laki-laki yang lebih banyak menjadi tenaga kerjanya. Karena dalam industri batik cap lebih mengedepankan kemampuan fisik dan tenaga, bukan kedisiplinan jiwa dan rasa..."
(Yanu E. Prasetyo, MTB, Hal 103) 

Gotong Royong

"....Kemalasan, kesibukan, dan teknologi yang memudahkan sekaligus “memalingkan” seseorang dari lingkungan sekitarnya, menjadi pengikis semangat kepedulian dan gotong royong. Bahkan, anak-anak generasi sekarang, tidak lagi mempunyai cukup ruang publik yang luas untuk bermain bersama tetangga atau anak-anak seusia. Mereka lebih senang bertapa di depan televisi atau play station yang dikhawatirkan bisa menumpulkan kecerdasan emosionalnya. Pembangunan mall dan simbol-simbol konsumerisme dibangun bak cendawan di musim hujan yang mengakibatkan silaturahmi ke rumah tetangga menjadi beralih ke tempat-tempat belanja yang megah itu. Masyarakat lebih rajin menyambangi restoran fastfood yang tidak hanya menawarkan makanan secara efisien, melainkan juga menjajikan kesenangan [termasuk berbagai permainan anak] [Ritzer, 2002:91]. Waktu luang yang bisa dimanfaatkan untuk mengenali lebih dekat orang-orang disekitar kita praktis makin sedikit. Wajar kalau kemudian ada teroris yang sedang bersembunyi di salah satu rumah tetangga, kita juga tidak tahu....."
(Yanu E. Prasetyo, MTB, Hal 97)

Padusan

"....Sebagian pihak menyayangkan momentum padusan telah berubah menjadi ajang “piknik” dan ramai-ramai belaka. Esensi membersihkan diri tidak tersurat dalam penampakan tradisi padusan masa kini. Hanya seperti mandi dan berendam bareng-bareng. Lebih memprihatinkan, karena bercampurnya laki-laki dan perempuan, dikhawatirkan yang terjadi justru pedusan ini menjadi ajang “cuci mata” bagi mata-mata keranjang yang hobinya jelalatan. Artinya, bukan malah menjadi bersih dan suci, tapi pikiran malah menjadi kotor dan mesum...."
(Yanu E. Prasetyo, MTB, Hal 88)

Pingitan

"...Entah mengapa anjuran untuk mengurung diri di rumah menjelang pernikahan sudah tidak menjadi tren lagi jaman sekarang. Dengan enteng dan mudahnya setiap lontaran untuk pingitan akan ditanggapi sebagai guyonan belaka. Seolah-olah, pingitan memang hanya pantas di jaman siti nurbaya atau bahkan tradisi jaman nabi nuh, alias baheula, kuno, kolot, dan ketinggalan jaman..."
(Yanu E. Prasetyo, MTB, hal 84)

Kubur Ari-Ari

"....Tata cara dan niat menguburkan ari-ari bermacam-macam. Pada mulanya memang menguburkan ari-ari kental dengan niatan untuk menghindari gangguan yang tidak kasat mata. Lebih kuat aroma mistisnya. Seperti agar si bayi tidak rewel, jauh dari penyakit, tidak diganggu saudara kembarnya, dan agar bayi sehat wal afiat. Namun semakin kesini, rasionalitas manusia menuntun pada logika bahwa ari-ari atau plasenta adalah bagian dari tubuh [hidup], yang jika dia mati akan mengalami pembusukan. Oleh sebab itu ari-ari harus dikubur secepatnya sebelum membusuk dan mencemari lingkungan..."
(Yanu E. Prasetyo, MTB, Hal 77)

Ngabungbang

"......Di tempat lain, mungkin sudah banyak masyarakat yang mengenal istilah “melekan”, “maleman”, atau terjaga semalam suntuk. Begitu pun dalam soal mandi berjamaah, masyarakat di Jawa Tengah dan sekitarnya mengenal tradisi padusan yang dilakukan ramai-ramai sehari sebelum bulan puasa [Ramadhan]. Nah, ngabungbang ini bisa dibayangkan adalah tradisi leluhur masyarakat Sunda yang menggabungkan kedua ritual tersebut : tidak tidur dari malam sampai pagi plus mandi di tengah malam...."
(Yanu E. Prasetyo, MTB, hal 115)

Tatto

"...Awalnya mistis dan disegani, kemudian dicibir dan dibenci, lalu akhirnya menjadi trend fashion yang dicari. Ya, itulah Tatto a.k.a titi, rajah, body painting, atau body decorating, yang berkembang di tengah masyarakat dunia. Pada mulanya Tatto memiliki fungsi tradisi yang sarat akan makna religi dan simbol penanda status sosial dan spiritual seseorang. Hal ini bisa ditemui pada tradisi suku-suku kuno yang sebagian telah punah, dan sebagian lagi masih eksis hingga saat ini. Tapi ratusan tahun kemudian, justru stigma negatif yang menempel pada tatto. Para narapidana, mafia, penjahat kambuhan [bromocorah], hingga para kriminal amatiran, hampir semuanya menjadikan tatto sebagai identitas khusus yang membuat mereka menjadi berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Terjadi politisasi tubuh yang memarginalkan para pengguna tatto. Kini, tatto telah bertransformasi menjadi trend fashion dan kosmetik yang dipandang sebagai seni dan budaya populer yang secara tersirat menjadi bentuk “perlawanan” kaum muda terhadap segala dominasi nilai yang membelenggu...."
(Yanu E. Prasetyo, MTB, Hal 70)

Mudik

"....Sayangnya, sebagian besar orang masih memandang tradisi mudik ini semata-mata positif, dan membiarkan segala kerumitannya menjadi hal biasa. Bahkan, tradisi ini sengaja dilanggengkan untuk menunjukkan solidaritas dan rasa kekeluargaan masyarakat kita yang dianggap masih tinggi. Padahal, jika dianalisis secara mendalam, tradisi ini justru secara gamblang telah menelanjangi berbagai masalah dan ketimpangan sosial di negeri ini. Ketimpangan sosial itu, dapat dilihat dengan mencermati beberapa hal yang terjadi dalam tradisi mudik, khususnya di hari lebaran ini..."
(Yanu E. Prasetyo, MTB, Hal 64)

Gantangan

".....Meskipun tidak semua warga Subang mengkuti tradisi ini, namun sistem hajat gantangan seperti ini masih sangat kuat. Khususnya, di Subang tengah hingga utara. Siapapun yang sudah terikat tradisi ini, seperti masuk ke dalam lingkaran setan yang tak ada jalan keluarnya. Sebab, hutang gantangan ini juga diwariskan. Semisal tuan B tadi meninggal dunia dan tidak mampu membayar pinjaman dari tuan A, maka istri, anak, atau saudara tuan B yang lain wajib untuk melunasinya. Tuan A tidak akan “mengikhlaskan” begitu saja, apalagi jika jumlah simpanannya itu sangat besar. Kemanapun tuan B pergi, tuan A tidak akan segan untuk menagih..."
(Yanu E. Prasetyo, MTB, Hal 52)

Nyumbang

"......Namun sayangnya, tradisi nyumbang mulai mengalami pergeseran nilai saat ini. Pertama,  makna tradisi nyumbang telah berubah wajah menjadi semakin kapitalis. Hajatan beserta tradisi nyumbang-nya, menjadi ladang untuk mengakumulasi modal bagi pemilik hajat. Sementara itu, bagi anggota masyarakat yang lain, nyumbang justru menambah beban ekonomi di tengah masa sulit seperti saat ini. Nyumbang yang dulu berdasar atas asas suka dan rela, kini cenderung bergeser pada usaha pengumpulan uang “by target” dan “terstandar”...."

(Yanu E. Prasetyo, MTB, hal 47)

Nyirih

".....ada satu adat kebiasaan dari masyarakat kita yang hampir punah, yaitu kebiasaan mengunyah sirih pinang. Apapun penyebab punahnya kebiasaan itu, mungkin menarik bagi kita untuk menelusurinya. Sama menariknya dengan mencari tahu, darimana asal kebiasaan tersebut?...."

(Yanu E. Prasetyo, MTB, Hal 43)
 

Cekokan

".....Jamu cekok merupakan istilah yang dipakai oleh masyarakat Jawa. Cekok sendiri dapat dimaknai sebagai sebuah metode atau cara meminumkan jamu. Tidak melalui gelas, dot, atau botol, melainkan dengan cara “paksa” langsung diperas dan masuk ke mulut si anak. Biasanya, begitu melihat dan membau jamu yang diracik, seorang anak akan menangis meronta dan tidak mau meminumnya. Seringkali, ketika seorang anak ingin minum atau makan sesuatu yang dilarang orang tuanya, maka si orang tua akan bilang, “awas adek, jangan minum ini ya, ini jamu, pahit!”. Lalu si anak akan terbengong-bengong dan mengubur dalam-dalam keinginannya. Jamu, dikonstruksikan sendiri oleh kebanyakan orang tua sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan, pahit, dan tidak boleh dikonsumsi oleh si anak...."
(Yanu E. Prasetyo, MTB, Hal 33)

Ngaben

"......Ketika seorang lelaki berpakaian serba putih dengan ikat kepala plus lonceng kecil di tangannya keluar, jenazah ibu paruh baya tadi yang sudah ditutup kain putih diangkat dan dimasukkan ke dalam Bade. Tak berapa lama kemudian, belasan pria kekar telah siap berdiri dan mengangkat kereta tandu yang telah berisi jenazah tadi. Begitu kereta diangkat, bunyi gamelan khas bali bertalu-talu mengiringi arak-arakan kereta jenazah menuju lokasi pembakaran mayat. Puluhan, dan bahkan ratusan orang dibelakangnya setengah berlari (saking cepatnya si pengarak kereta berjalan), mengikuti dari depan dan belakang. Sementara para turis mancanegara yang sedari tadi merekam dan memotret penuh antusias, juga bergegas tak mau ketinggalan. Ya, itulah bagian dari prosesi ngaben atau upacara pembakaran mayat yang begitu mahsyur di pula dewata ini....."
(Yanu E. Prasetyo, MTB, hal 25)

Belis

"..............di tengah segala keterbatasan alam dan ketertinggalan pembangunan tersebut, tradisi mahal seperti Belis justru tumbuh subur, merata, dan eksis di berbagai pelosok daerah. Semakin ke pedalaman semakin kuat. Mulanya penulis tidak habis pikir, bagaimana mereka mampu menjalankan adat sedemikian kuat, padahal kehidupan mereka jauh dari sejahtera? Namun akhirnya, kabut gelap itu terkuak juga......."
(Yanu E. Prasetyo, MTB, Hal 18)

Ronggeng


"........Ronggeng, seringkali diasosiasiakan dan digambarkan sebagai sosok perempuan penari nan “erotis”, “bahenol”, “genit”, dan dipandang sebelah mata karena dianggap “murahan”. Tentu gambaran tersebut adalah hasil labelisasi dan stigma yang dilekatkan secara sepihak oleh masyarakat. Hemat penulis tidak akan ada satu pun perempuan yang mau dan dengan suka rela dicap negatif seperti sebutan di atas. Sebab, bukan hanya harga diri atas pribadi yang dinodai, melainkan juga tiadanya pengakuan atas sebuah pekerjaan seni yang menghibur. Ada realitas sosial dimana nilai dan norma masyarakat tidak singkron dengan kehendak bebas anggota masyarakat di dalamnya. Akibatnya, lahir sebuah sikap mendua. Mau tapi malu, menikmati sekaligus menghujat, dan berbagai ironi lainnya, khususnya dalam menyikapi kehadiran ronggeng sebagai seorang entertainer rakyat...." 
(Yanu E. Prasetyo, MTB, Hal 10)


Nyadran

".........Pada hari yang telah ditentukan, setiap keluarga berbondong-bondong menuju makam sambil membawa sesuatu yang berisi ubo rampen dan sesajen. Ubo rampen itu biasanya berupa kembang setaman yang terdiri dari bunga mawar, kenanga, puring, dan kembang jambe yang dicampur dengan air secukupnya. Sedangkan sebagai sesajen, berupa nasi yang dibentuk buceng [nasi tumpeng], dengan dilengkapi lauk-pauk seperti sambal goreng, srundeng, rempeyek, ayam ingkung [bekakak], ketimun, tahu dan tempe. Nasi buceng beserta aneka lauk-pauknya itu ditarus diatas satu wadah berupa nyiur atau tampah dari anyaman bambu, ada juga sebagian yang dimasukkan ke dalam takir/berkat/bakul......" 
(Yanu E. Prasetyo, MTB, Hal 3)
 

Pengantar

Maklum Sudah Tradisi !


Seringkali ketika penulis bertanya pada seseorang  mengapa dia melakukan sesuatu? Maka mereka akan menjawab dengan kalimat : sudah tradisi! Jika sudah demikian, maka kening Saya berkerut akibat tarikan berbagai pertanyaan yang melintas dalam pikiran, seperti sejak kapan tradisi semacam itu dimulai? Darimana? Mengapa begitu tidak begini? dan lain sebagainya. Tradisi menjadi mantra yang ringkas, padat, dan ampuh untuk melegitimasi suatu tindakan. Seolah-olah, ketika kita sudah bilang suatu tindakan sebagai tradisi maka tindakan itu sudah “benar” dan tidak perlu dipertanyakan kembali, apalagi dibantah.